Minggu, 14 November 2010

THAHARAH

THAHARAH

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan dan rahmatnya, sehingga kita dapat menikmati sebuah kehidupan yang sungguh penuh dengan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya . Dan tak lupa sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang telah membimbing kita dari zaman yang jahiliyah akhlaknya menuju zaman yang mulia akhlaknya dengan agama Islam.
Kami sangat bersyukur karena kami telah berhasil menyelesaikan tugas makalah ini dengan cukup baik dan tepat waktu. Ada kalanya kami mengalami kendala-kendala dalam mengerjakan tugas makalah ini, baik masalah materiil sekaligus masalah moril. Namun dengan bantuan orang-orang terdekat dan orang tua, kami berhasil menanggulangi masalah-masalah tersebut.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada kedua orang tua kami, yang telah memberikan semua keperluan kami untuk menyelesaikan tugas ini. Yang kedua, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Drs. Syamsudin M.ag selaku dosen mata kuliah “Fiqh” yang telah membimbing kami untuk dapat mengerjakan tugas ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini, yang tentunya tidak dapat kami sampaikan satu-persatu.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu para pembaca untuk menambah pengetahuannya dalam hal bersuci dan tentu saja para pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.

Mojokerto, 1 April 2010
Penyusun


BAB 1
PENDAHULUAN

a) Latar Belakang
Masalah bersuci merupakan masalah yang sangat mendasar didalam ajaran agama Islam. Didalam banyak kitab-kitab Fiqh, bab-bab yang dibahas pertama kali adalah bab Thaharah. Thaharah merupakan bab penting yang harus dipelajari sebelum mempelajari masalah-masalah Fiqh lainnya.
Keadaan umat Islam sekarang ini sangat memprihatinkan, karena mereka kurang mengerti tentang cara bersuci yang baik dan benar. Banyak orang Islam yang melakukan kesalahan dalam bersuci.
Tentu saja hal ini akan sangat menghalangi umat Islam untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan. Karena ibadahnya akan tertolak dikarenakan oleh keadaan umat Islam yang tidak suci secara lahiriah.

b) Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Thaharah?
2. Apa saja media yang dapat dipakai dalam bersuci?
3. Bagaimana cara bersuci dengan baik dan benar?
4. Apa saja jenis-jenis najis itu?
5. bagaimana cara menyucikannya?

c) Tujuan
Dengan memberikan informasi tentang Thaharah secara jelas dan mudah dipahami, dapat memberikan pengetahuan yang Shahih dalam bersuci. Dengan demikian umat Islam tidak akan mengalami kesulitan dalam bersuci dan aktivitas-aktivitas keagamaannya dapat diterima oleh Allah SWT.

BAB 2
PEMBAHASAN

A.THAHARAH
1.Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa artinya bersuci, sedangkan menurut syara’ arti Thaharah sering dikemukakan ahli fiqih secara definitif, antara lain :
a)Qadi Husain
Thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah hadats. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bersuci wajib, seperti ; mandi junub untuk menghilangkan hadats besar dan wudlu untuk menghilangkan hadats kecil.
b)Imam Nawawi
Thaharah adalah suatu pekerjaan menghilangkan hadats atau najis. Thaharah dalam arti menghilangkan hadats adalah mandi junub, wudlu dan tayamum, sedangkan dalam arti menghilangkan najis adalah istinja dengan air dan istijmar dengan batu
c)Syekh Ibrahim Al-Bajuri
Thaharah adalah melakukan pekerjaan yang memperbolehkan shalat, seperti mandi, wudlu, dan tayamum.
Dari beberapa definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa, Thaharah adakalanya mengandung hakikat yang sebenarnya, seperti bersuci dengan air atau menurut hukum seperti bersuci dengan tanah ketika bertayamum.
Hukum asal Thaharah atau bersuci dan menghilangkan najis adalah wajib. Apabila diketahui dan mampu melakukannya. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir ayat 4. Permaslahan ini dinukil dari kitab : Shahih Fiqh as-Sunnah, lihat kitab Shahih Fiqh Sunnah jilid 1.


2.Macam-Macam Cara Bersuci
Bersuci merupakan sarana diterimanya amal ibadah seseorang yang berhubungan langsung dengan Allah SWT., dan bersifat horizontal.
Islam menyariatkan bersuci dari hadats dan bersuci dari najis. Hadats kecil dan hadats besar, seperti halnya najis, harus dihilangkan manakala akan beribadah kepada-Nya. Satu-satunya alat bersuci yang paling utama disyariatkan adalah air , walaupun dalam keadaan tertentu boleh menggunakan tanah untuk menghilangkan hadats, yaitu dengan tayamum, dan untuk menghilangkan najis selain najis mugholadoh dengan menggunakan batu atau benda padat lainnya kecuali tulang.

3.Hikmah Bersuci
Dalam syariat Islam, bersuci mempunyai beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut :
a.Kita semua tahu bahwa benda-benda najis baik dari dalam maupun luar tubuh manusia adalah benda-benda kotor yang banyak mengandung bibit penyakit dan dapat membawa madharat bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu, dengan bersuci berarti telah melakukan usaha untuk menjaga kesehatan.
b.Kebersihan dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci akan menambah kepercayaan diri sendiri. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu mengutamakan kebersihan dari kesucian.
c.Syariat bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab, jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kedisiplinan akan menumbuhkan kebiasaan yang baik. Ketentuan adab dan bersuci dalam Islam berbentuk ajaran yang mempertinggi harkat dan martabat manusia.
d.Sebagai hamba Allah SWT, yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga menunjukkan pembuktian awal ketundukkannya kepada Allah SWT.

B.BENDA-BENDA NAJIS
1.An-Najasah (najis)
Najis adalah kotoran yang setiap muslim wajib untuk menyucikan diri darinya dan menyucikan setiap sesuatu yang terkena kotoran najis tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt.,
”Dan pakaianmu, bersihkanlah!” (al-Muddatstsir [74]: 4)
” ... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang tobat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah [2]: 222)
2.Jenis-jenis Najis
a.Bangkai
Bangkai merupakan binatang yang mati begitu saja, tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori bangkai, yaitu binatang yang dipotong atau dipatahkan lehernya hingga mati. Hal ini berdasarkan hadist Abu Waqid al-Laitsi,
”Rasulullah saw. Bersabda, ’Binatang ternak yang dipatahkan lehernya atau dipotong dalam keadaan masih hidup, maka ia termasuk bangkai,”(HR Abu Dawud dan Tirmidzi.)
Namun ada beberapa perkara yang dikecualikan dari binatang yang telah mati tanpa dimasukkan ke dalam kategori bangkai, yaitu sebagai berikut.
1)Bangkai ikan dan belalang. Ia tetap dianggap suci karena berdasarkan hadist Ibnu Umar r.a.
”Rasulullah saw. bersabda, ’Ada dua jenis bangkai dan darah yang dihalalkan kepada kita, yaitu bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah yang dihalalkan kepada kita itu adalah hati dan limpa,’”(HR Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daruquthi)
2)Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir, seperti semut, lebah, dan lain-lainnya, maka ia adalah suci. Jika ia sampai jatuh ke dalam sesuatu kemudian mati, maka ia tidaklah menyebabkan tempat tersebut najis.
3)Tulang bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta perkara yang sejenis dengan itu, maka ia dikategorikan suci. Karena, asalnya adalah suci dan tidak ada satu dalil pun yang menyatakan najis.
b.Darah
Semua jenis darah adalah diharamkan, baik darah yang mengalir maupun tertumpah. Misalnya, darah yang mengalir dari hewan yang disembelih ataupun darah haid. Akan tetapi, darah yang sedikit akan dimaafkan.
c.Daging babi
Allah ta’ala berfirman,
”Katakanlah,’Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha pengampun lagi Maha penyayang.’”(al-An’aam [6]: 145
d.Muntah, Kencing dan Kotoran Manusia
Semuanya adalah najis, seperti yang telah disepakati oleh para ulama. Akan tetapi, jika muntah itu hanya sedikit maka ia akan dimaafkan. Begitu pula kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu. Jadi, cara membersihkannya adalah cukup memercikkan air ke atasnya.
e.Wadi
Wadi adalah air putih kental yang keluar mengiringi air kencing. Ia adalah najis tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Aisyah r.a. “Wadi keluar setelah kencing . Oleh karenanya, hendaklah seseorang mencuci kemaluannya, lalu berwudlu dan tidak perlu mandi.”(HR Ibnu Mundzir).
Mengenai mani, wadi dan madzi, Ibnu Abbas r.a. mengatakan,”Keluar mani adalah mewajibkan mandi. Jika keluar madzi dan wadi, maka keduanya tidak mewajibkan mandi dan seseorang itu tetap dikatakan suci”(HR Atsram dan Baihaqi).
f.Madzi
Yaitu air putih bergetah yang keluar sewaktu teringat senggama atau ketika bercumbu rayu. Kadang-kadang ia keluar tidak terasa. Ia dapat keluar dari kaum laki-laki dan perempuan, tetapi biasanya kaum perempuan lebih banyak mengeluarkan madzi. Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, tetapi bila ia terkena salah satu anggota badan maka wajib dicuci. Jika menimpa pakaian maka cukuplah dengan memercikkan air ke atasnya karena ia termasuk najis yang sukar untuk diantisipasi.
g.Mani
Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia najis. Akan tetapi, menurut pendapat yang kuat ia adalah suci. Walaupun demikian, disunnahkan mencuci air mani bila masih basah dan mengoreknya bila sudah kering.
h.Kencing dan Kotoran Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya
Keduanya adalah najis karena berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud r.a., ”Nabi saw. hendak membuang air besar maka beliau memerintahkan aku supaya mengambilkan tiga buah batu. Aku hanya menemukan dua buah batu. Aku berusaha untuk mencari satu batu lagi, tetapi aku gagal menemukannya. Akhirnya, aku mengambil tahi binatang yang sudah kering, lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi beliau membuang tahi tadi. Katanya,’Ini adalah benda najis.’”(HR Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah)
i.Binatang Jallalah
Yang dimaksudkan dengan jallalah adalah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik berupa unta, sapi, kambing, ayam dan itik, sehingga bau binatang tersebut berubah. Akan tetapi, jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu dalam beberapa waktu yang lama kemudian ia kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya tidak berbau dan nama jallalah tidak lagi menjadi sebutan binatang tersebut, maka ia halal dimakan. Karena, illat atau alasan dilarang sudah berubah dan tidak wujud lagi, sementara ketika ia masih memakan kotoran, maka illat-nya masih wujud dan belum ada perubahan.
j.Khamar atau Arak
Jumhur ulama berpendapat, khamar adalah najis karena berdasarkan kepada firman Allah ta’ala.
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (najis) termasuk perbuatan setan ... “ (al-Maidah [5]: 90)
Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa khamar suci, sebab kata-kata najis pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “najis” itu merupakan predikat dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya. Padahal semua itu tidak dapat dikatakan najis. Allah ta’ala berfirman,
“ ... Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu ... “ (al-Hajj [22]: 30)
Ternyata, berhala disini dikatakan najis, tetapi maknawi apabila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis.
Dalam kitab Subulus-Salam dinyatakan, “pendapat yang benar, asal semua benda tersebut suci. Jadi, pengharaman atas benda-benda itu tidak berarti bahwa ia najis. Contohnya candu. Ia adalah haram, tetapi tetap suci. Akan tetapi barang najis, selamanya ia berarti haram.
k. Anjing
Anjing adalah najis dan wajib mencuci apa saja yang terkena jilat sebanyak 7 kali. Pencucian yang pertama mesti menggunakan tanah. Hal ini berdasarkan hadist Abu Hurairah r.a.,
“Rasulullah saw. Bersabda, ’Sucikanlah bejanamu yang terkena jilat anjing, yaitu mencuci sebanyak tujuh kali. Dan cucian yang pertama mesti menggunakan tanah.”(HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Baihaqi).

C.CARA BERSUCI DARI NAJIS
Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan oleh setiap muslim, dengan mencuci benda atau sesuatu yang telah terkena najis. Didalam aktivitas sehari-hari najis tidak dapat terlepas dari diri setiap individu, karena setiap individu akan selalu melakukan interaksi baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan sekitar.
1. Najis Mukhafafah, yaitu najis ringan berupa air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan selain air susu ibu (ASI).
Kaifiat mencuci najis ini cukup dengan memercikan air pada benda atau apa saja yang terkena najis walaupun tidak mengalir. Hal ini dijelaskan oleh hadist Ummu Qais berikut ini.
”Ia pernah mendatangi Nabi Saw. sambil membawa bayi laki-lakinya yang belum mencapai usia makan. Dengan kata lain, bayi tersebut hanya meminum air susu ibunya. Lantas bayi itu kencing dalam pangkuan Nabi saw. Kemudian Nabi saw. pun meminta air, lalu memercikkannya. Maksudnya adalah, sebagaimana yang telah disebutkan pada riwayat-riwayat lainnya, menebarkan air dengan jari-jari ke atas objek air kencing itu, tetapi tidak sampai air tersebut mengalir dan tidak perlu mencucinya.”

2.Najis Mutawassitah, yaitu najis pertengahan yang tidak ringan tidak juga berat (Intermediate level). Termasuk dalam jenis najis ini adalah segala sesuatu yang keluar dari Quhul dan Dubur apapun bentuknya, kecuali mani juga kotoran binatang dan bangkai selain manusia, belalang, dan ikan.
Adapun cara menyucikannya adalah dibasuh dengan air sampai hilang sifatnya. Apabila sudah berulang kali dicuci, tetapi bekasnya masih ada juga, maka hukumnya dianggap suci, dan dimaafkan.
Jenis najis ini ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:
a.Najis Ainiyah, yaitu najis yang tampak zatnya secara lahir dan jelas warnanya dan bau serta rasanya. Cara mencuci najis ini adalah dengan membasuhnya dengan air sampai hilang ketiga sifat tersebut. Adapun kalau sukar menghilangkannya, sekalipun sudah dilakukan berulang kali, maka najis tersebut dianggap suci dan dimaafkan.
b.Najis Hukniyah, yaitu najis yang kita yakini adanya (menurut hukum), tetapi tidak tampak ketiga sifatnya, seperti kencing yang sudah lama kering sehingga sifatnya hilang. Cara mencuci najis ini adalah cukup dengan mengalirkan air kepada benda yang terkena najis.
Disamping kedua najis tersebut, ada juga najis ma’fu. Najis ma’fu adalah najis yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena najis dan yang tidak kena najis.
Najis ma’fu contohnya adalah darah dari jerawat, nanah, kena debu, kena air kotor yang tidak disengaja atau sulit dihindari. karena di anggap sedikit. Jika ada makanan kemasukan bangkai binatang sebaiknya jangan dimakan kecuali makanan kering karena cukup dibuang bagian yang kena bangkai saja. Namun ada pengecualian pada darah dari anjing dan babi, dengan alasan karena keduanya sama-sama najis mugholadzoh, walaupun dirasa darah itu sedikit, dan juga mimisan dan bisul (udun).
Adapun cara bersuci setelah keluar buang air besar dan buang air kecil yang disebut Istinja’ adalah dengan menggunakan air atau batu atau benda padat lainnya (kecuali tulang) bila tidak ada air, atau bersuci dengan menggunakan batu atau benda padat lainnya lebih dahulu baru kemudian dengan air. Cara yang demikian adalah lebih baik.
Bersuci dengan batu atau benda padat lainnya disebut istijmar, dengan ketentuan sebagai berikut :
a.Batu atau benda lain yang digunakan harus keras dan suci serta dapat membersihkan najis.
b.Sekurang-kurangnya menggunakan 3 batu atau 1 untuk tiga kali usapan dan lebih baik beberapa kali sehingga benar-benar bersih.
c.Najis yang dibersihkan belum kering.
d.Najisnya tidak berpindah dari tempat keluarnya, misalnya ke kaki atau lainnya.
e.Najisnya belum tercampur dengan benda lain walaupun benda itu suci.
f.Batu atau benda yang digunakan bukan batu atau benda yang bernilai.

3.Najis mugholadzhah, najis yang berat. Termasuk dalam najis ini adalah anjing dan babi termasuk babi hutan serta keturunannya atau keturunan salah satu dari keduanya.
Adapun cara mencuci najis atau benda yang terkena najis ini adalah dengan mencucinya dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu atau tanah yang suci.

BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
1.Thaharah adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan hadats dan najis, dengan melakukan cara-cara tertentu sesuai dengan hadats atau najis yang mengenainya.
2.Ada beberapa benda najis yang harus dihindari dan di waspadai yakni ; bangkai, darah, daging babi, muntah, kencing, kotoran manusia, wadi, madzi, mani, kencing dan kotoran binatang yang tidak dimakan dagingnya, binatang jallalah, khamar atau arak, dan anjing.
3.Najis terbagi menjadi 3 tingkatan, yakni najis mukhafafah, najis mutawassitah dan najis mugholadzhah. Najis mutawassitah dibagi menjadi 2 jenis najis yaitu najis Ainiyah dan Hukniyah Masing-masing najis memiliki cara-cara tersendiri untuk menyucikannya.
4.Thaharah adalah salah satu aktivitas penting yang harus dipahami oleh kaum muslimin baik secara teori maupun praktek. Karena kesucian seseorang akan menjadi salah satu penentu diterima tidaknya amal ibadahnya kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, Moh. Suyono dan Maman Abd Djaliel. Fiqih Ibadah. Bandung : Pustaka Setia. 1998.
http://www.bergaul.com/pages/newforum/posts.php?topic=43502
http://www.dakwatuna.com/2008/fiqh-thaharah/
http://organisasi.org/jenis-macam-macam-najis-mukhaffafah-mutawassithah-dan-mughallazhah
http://lhokokkowe.blogspot.com/2009/05/ulasan-najis-mafu-bag-1.html
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jakarta : Pena Pundi Aksara. 2007.

2 komentar:

Do not forget to give comment